Official Website STPM Santa Ursula
Richard Toulwala – Dosen STPM

“Every 1 dollar spent on preparedness saves 7 dollars in emergency response. Act Now, Save Later!”, Satu dolar yang diinvestasikan dalam mitigasi bencana akan menyelamatkan 7 dolar saat terjadi bencana.

Demikian bunyi sebuah tagline UNDP dan UN-Ocha yang belakangan ini gencar mengampanyekan mitigasi bencana. Tagline tersebut menyatakan betapa pentingnya mitigasi bencana untuk menyatakan kesiapsiagaan kita terhadap sebuah bencana yang pasti bakal terjadi. Perlu diakui bahwa Indonesia adalah negeri bencana yang tak pernah siap (Bdk, tulisan M. Jojo Rahardjo: Indonesia Negeri Bencana yang tak pernah siap dalam Kompasiana). Ketidaksiapan Indonesia tidak harus disalahkan pada kesiapan Pemerintah dalam menciptakan strategi nasional pengurangan resiko bencana. Hal yang paling penting adalah merefleksikan tanggung jawab kita terhadap jiwa kita. Artinya mitigasi bencana adalah tanggung jawab bersama.

Bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengganggu kehidupan bersama tanpa diskriminasi. Bencana adalah tanggung jawab publik. Oleh karena itu pengurangan resiko bencana membutuhkan suatu disiplin kolektif baik melalui pendididikan maupun praktik-praktik keahlian dari sekian banyak profesi.

Pengurangan resiko bencana didasarkan pada kajian terhadap kerentanan. Kerentanan itu harus dibaca dalam konteks yang luas, yang mencakup dimensi-dimensi manusiawi, sosbud, lingkungan, politik dan ekonomi. Dengan demikian urgensivitas mitigasi bencana oleh semua pihak mendapat penekanan.

Sebagai bentuk partisipasi publik, Mahasiswa/i STPM Santa Ursula Ende, Program Studi Ilmu Pemerintahan Semester VI A3 dan VI B memberikan arti pentingnya sebuah mitigasi bencana demi mewujudkan ‘zero korban bencana’.

Dalam Praktek Kuliah Lapangan (PKL) mata kuliah Manajemen Kebencanaan, mahasiswa STPM menggandeng masyarakat Desa Rutujeja, Kecamatan Lepembusu Kelisoke, Kabupaten Ende, NTT untuk mewujudkan desa tangguh bencana. PKL dilakukan selama 4 hari, dari tanggal 01 Juni 2019 hingga 04 juni 2019.

Intensifikasi Pemaknaan PKL Manajemen Kebencanaan

 PKL yang berkaitan dengan mitigasi bencana jarang terjadi di bumi NTT dan mungkin di beberapa wilayah lainnya di Indonesia. Oleh karena itu penyingkapan makna PKL Manajemen Kebencanaan tersebut harus dilakukan untuk membangkitkan gelora partisipasi yang meluas.

Pertama; Transfer Kesadaran

Kampus sebagai produksi pengetahuan harus menjadi motor kesadaran bagi masyarakat. PKL Manajemen Kebencanaan memberikan makna bahwa masyarakat harus diberikan pemahaman bahwa mereka bukanlah bejana yang kosong.

Sesungguhnya mereka memiliki kemampuan untuk memahami arti pentingnya mitigasi bencana dan cara-cara melakukan mitigasi bencana.

Mahasiswa hanya menjadi fasilitator untuk membimbing masyarakat menemukan persoalan dan solusi terhadap jenis ancaman bencana.

Sebaliknya mahasiswa bukanlah malaikat yang mampu menyulap mitigasi dan kesadaran warga dalam hitungan detik. Mahasiswa juga merupakan sebuah gelas yang hanya terisi sedikit air.

Agar gelas itu menjadi penuh maka mahasiswa perlu mendapatkan asupan penetahuan praktis dan pengetahuan lokal tentang mitigasi bencana dari masyarakat.

PKL adalah ajang proses transfer kesadaran yang timbal balik. Dengan kemajuan pengetahuan dan teori-teori mahasiswa membantu masyarakat membentuk sebuah kesadaran akan pentingnya mitigasi bencana dan arti penting Tim Siaga Bencana Desa (TSBD).

Begitu pula masyarakat dengan pengetahuan tradisional dan tradisi-tradisi untuk menangkis bencana dapat memberikan asupan pengetahuan baru bagi mahasiswa.

Kedua; Membangun Kemandirian Lokal

Setahun setelah Gujarat diguncang gempa dahsyat, masyarakat Desa Patanka (India) berjuang keras mengembalikan hidup mereka.

Letak Patanka yang terisolir dan medannya yang sulit dijangkau membuat Pemerintah setempat tak mampu mendistribusikan bantuan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Pemerintah akhirnya lebih memprioritaskan desa-desa korban bencana yang gampang disentuh.

Kheemabhai, seorang pemimpin desa dari Patanka mencoba membangun kerja sama dengan sebuah LSM. Alhasil semua logistik dalam proses rehabilitasi dilakukan dengan baik oleh LSM tersebut.

Patanka adalah contoh internasional yang baik tentang kemandirian lokal dan rehabilitasi yang dipimpin oleh komunitas atas dasar kerja sama yang sangat singkat (Bastian Affeltranger dkk, 2006).

Desa Rutujeja adalah desa rawan bencana dan terisolir dari Ibu Kota Kabupaten Ende. Medan yang terjal, tebing dan kondisi jalan rawan longsor serta bebatuan membuat orang berpikir dua kali untuk mengulangi lagi perjalanan ke Rutujeja.

Kondisi seperti ini mengharuskan Desa Rutujeja membangun kerja sama dengan komunitas luar dalam rangka pemberdayaan.

STPM Santa Ursula Ende menjawabi kebutuhan masyarakat Rutujeja dengan kegiatan PKL Manajemen Kebencanaan. Dalam kegiatan PKL, masyarakat diberikan peluang untuk percaya dengan kemampuan yang dimiliki dan berani keluar dari kegelisahan. Kegiatan ini mampu menumbuhkan kemandirian lokal yang sewaktu-waktu dapat berguna.

Ketiga; Jiwa yang Tak Tergantikan

Jiwa manusia tidak bisa tergantikan dengan apa pun juga. Saya berkeyakinan bahwa pembaca sepakat dengan statement sederhana ini.

Bila demikian adanya maka hidup seseorang harus ditegakkan di atas segalanya dan tak ada alasan untuk melenyapkan hidup seseorang sekalipun bencana. Mengapa demikian? Karena Bencana sebenarnya bisa dihindari dan dideteksi jika mungkin.

STPM Santa Ursula telah menunjukkan kepada dunia bahwa PKL sesederhana itu membawa nilai yang berharga bagi ribuan nyawa. PKL STPM Santa Ursula menunjukkan kepedulian sebuah komunitas yang tak pernah berjalan sendirian.

Komunitas yang berasal dari desa dan kembali ke desa. Komunitas yang mengabdikan diri pada masyarakat secara total dan dikenang dalam lembaran-lembaran sejarah masyarakat desa.

Persoalan nyawa tidak bisa dianggap sepeleh. Mitigasi Bencana sesungguhnya upaya untuk meminimalisir korban nyawa selain materi. Oleh karena jiwa yang tak tergantikan oleh apa pun maka STPM Santa Ursula menunjukkan kepedulian terhadap mahalnya sebuah nyawa.

Komunitas manakah yang akan menyusuli STPM mempertaruhkan pengabdiannya demi sebuah nyawa? Marilah kita berlomba-lomba untuk menyelamatkan nyawa kita dan nyawa orang lain dengan mengupayakan mitigasi bencana di sekitar lingkungan kita. Selamat berjuang.

 

Tulisan ini telah terbit pada laman KOMPASIANA