Official Website STPM Santa Ursula

Menelaah Pandangan Romo Magnis Terkait Etika Pejabat Publik

Oleh Oktavianus Daluamang Payong, Dosen STPM Santa Ursula

Baru-baru ini jagad maya ramai memperbincangkan pernyataan Franz Magnis-Suseno alias Romo Magnis terkait presiden yang memakai kekuasaan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu membuat presiden menjadi mirip pemimpin dari organisasi mafia. Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu menyampaikan, sikap seorang presiden yang menggunakan kekuasaan demi keuntungan keluarganya merupakan sesuatu yang memalukan. Tak hanya menandakan kurangnya wawasan, sikap itu juga membuktikan bahwa presiden tersebut hanya memikirkan diri sendiri dan keluarganya (Kompas.id/2/4/2024). Menjadi pertanyaan, apakah pernyataan Romo Magnis tersebut hanya memberikan suatu pendapat filosofis dan akademis, tetapi men-judge presiden?

Akar masalah Dalam persidangan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) tahun 2024 di Mahkamah Konstitusi, Romo Magnis dihadirkan oleh pasangan calon nomor 1 dan nomor 3 sebagai ahli. Franz Magnis menyoroti terjadinya sejumlah pelanggaran etika dalam Pemilu 2024. Salah satunya pendaftaran Gibran Rakabumiung Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden pendamping capres Prabowo Subianto. Ia mengutip putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan adanya pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh KPU karena menerima pendaftaran Gibran tanpa merevisi Peraturan KPU (Kompas.id/2/4/2024). Romo Magnis juga menyoroti keberpihakan presiden dalam Pemilu 2024 dan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Menurut dia, presiden boleh saja memberitahukan bahwa dirinya berharap salah calon menang. Namun, saat presiden memakai kedudukan dan kekuasaannya untuk memberi petunjuk kepada aparatur sipil negara (ASN), polisi, dan militer agar mendukung salah satu calon, maka presiden telah melanggar etika secara berat yang dituntut darinya. Ketika melanggar etika, berarti presiden telah kehilangan wawasan etika dasar tentang jabatan presiden. Bahwa kekuasaan yang ia miliki bukan untuk melayani diri sendiri, melainkan seluruh masyarakat.

Pernyataan Romo Magnis tersebut kemudian menjadi sorotan publik. Banyak yang mendukung pernyataan tersebut, namun banyak pula yang bertentangan. Salah satu yang menentang pernyataan tersebut adalah Kuasa Hukum Paslon Nomor 2, Yusril Ihza Mahendra. Ia menilai Romo Magnis telah memberikan pandangan filosofis dan akademis, tetapi letak kesalahannya adalah karena men-judge seseorang (presiden) tanpa bukti yang kuat. Benarkah demikian ? Konsep etika pejabat publik Salah satu filosafi Jawa yang diulas oleh Ikrar Nusa Bhakti dalam laman Kompas.Id adalah “kuoso nggendong lali” (kuasa memanggul lupa). Inti ajaran tersebut adalah ketika kekuasaan didapat, maka kekuasaan yang dimiliki bisa membuat yang berkuasa menjadi lupa. Lupa dalam hal ini bisa lupa asal- usul, lupa teman, lupa keluarga, lupa kolega, lupa pada proses awal kekuasaan didapat, lupa pada kegunaan kekuasaan itu untuk apa, lupa pada hakikat kekuasaan bermakna untuk apa. Bisa juga lupa cara berterima kasih. Lupa menempatkan diri dan lupa pada sangkan paraning dumadi (manusia asalnya dari mana dan akan kembali ke mana).

Ajaran filsafat Jawa tersebut masih relevan hingga saat ini karena para penguasa negeri ini sering lupa bahwa dalam konsepsi Indonesia modern, Indonesia berbentuk republik dan bukan kerajaan (Kompas.id/06/10/2023). Sejalan dengan pandangan filsuf Yunani Kuno Polybius (2 SM) dalam teori yang dikenal dengan Siklus Polybius, kekuasaan itu muncul berkembang dan mati. Inti dari teori tersebut menerangkan bahwa pemimpin negara yang ideal adalah aristokrasi yang mengedepankan kepentingan dan kebaikan bersama. Namun karena akses kekuasaan telah dipenuhi oleh para aristokrat tersebut, maka yang tadinya mengedepankan kebaikan bersama menjadi mengedepankan kepentingan sendiri, baik keluarga maupun golongan (oligarki). Hal tersebut tentunya bertentangan dengan etika pejabat publik. Seorang pejabat publik (presiden) harus menjadi teladan moral bagi masyarakatnya, dengan menunjukkan nilai-nilai seperti empati, rasa hormat, dan kepedulian terhadap kesejahteraan semua warga negara. Kemudian dipertegas lagi oleh teori etika politik Immanuel Kant yang didasarkan pada prinsip-prinsip etika deontologis.

Etika yang mengutamakan kewajiban moral sebagai dasar untuk menilai kebaikan atau keburukan suatu tindakan. Apabila ungkapan Romo Magnis itu dikatakan hanya sebagai penghakiman kepada presiden, maka etika publik yang menggambarkan moral seorang presiden perlu dipertanyakan. Menjadi pejabat publik, apalagi pejabat politik pasti siap menerima kritikan dan penilaian dari publik dan hal merupakan tindakan yang wajar. Presiden dipilih oleh mayoritas masyarakat, maka kepentingan yang dijalankan adalah untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan golongan atau keluarga. Presiden tidak boleh lupa bahwa dia dilahirkan oleh masyarakat. Jangan sampai filosofi jawa “kuoso nggendong lali” akhirnya membuat presiden lupa akan kepentingan publik. Menurut konsepsi kekuasaan dalam kebudayaan Jawa (The Idea of Power in Javanese Culture, Ben Anderson, 1972), kekuasaan didapat dari Tuhan melalui wahyu. Kekuasaan itu nyata, tunggal, tetap, dan tak terbagi-bagi. Ada kesatuan antara rakyat dan penguasa (manunggaling kawula gusti), bukan kesatuan antara penguasa dan keluarga atau kroni-kroninya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Menelaah Pandangan Romo Magnis Terkait Etika Pejabat Publik”

Baca selengkapnya disini