Official Website STPM Santa Ursula

Berharap Normalisasi Harga Pangan

Oleh Petronela Somi Kedan, Dosen STPM Santa Ursula

HARGA beras premium pada Februari ini, melonjak pada kisaran Rp 18.000-an per kilogram, padahal HET yang ditentukan pemerintah Rp 13.000 per kilogram (Kompas, 21/2/24). Di Kota Ende, NTT, saat ini harga 5 kilogram beras premium mencapai Rp 85.000 dan harga 10 kilogram beras premium ada di kisaran Rp 180.000 – Rp 190.000. Harga beras yang melambung tinggi memberikan dampak multilevel pada kenaikan harga sembako dan pangan lain. Tiga buah tomat ukuran sedang dijual dengan harga Rp 5.000, sekilogram gula produksi lokal yang biasanya dijual dengan harga Rp 6.000 mengalami kenaikan harga mencapai Rp 18.000 dan 6 butir telur harus dibayar dengan Rp 15.000. Dengan harga beras melambung tinggi, akses masyarakat terhadap pangan menjadi semakin kecil. Terlebih, ketika tuntutan dasar hidup saat ini bukan hanya soal pangan, tetapi juga papan, pendidikan, dan kesehatan. Pemerintah melakukan upaya untuk mengatasi persoalan melambungnya harga pangan dengan menjual paket sembako murah.

Di beberapa kabupaten di Indonesia, pemerintah menjual paket–paket sembako yang terdiri dari beras, minyak goreng, dan gula dengan harga kurang lebih Rp 80.000. Bukan tanpa perjuangan, untuk mengakses pangan dengan harga murah masyarakat harus mengantre dari pagi sampai siang. Paket sembako murah Pertanyaan berikutnya adalah; intervensi pasar yang dilakukan pemerintah dengan menjual paket sembako berharga murah akan bertahan sampai kapan? Kalau lima kilogram beras hanya dapat bertahan selama satu minggu untuk satu keluarga kecil dengan porsi makan kecil, lalu, minggu depan lagi rakyat Indonesia harus bagaimana? Lebih parah lagi, 7,8 juta orang Indonesia yang pengangguran menurut data Kompas (Kompas, 23/2/24), harus makan apa jika pekerjaan saja mereka tak punya? Lebih dari itu, pada kenyataannya, paket sembako murah tidak memengaruhi harga pangan terutama beras yang melambung tinggi sampai hari ini.

Di pasar tradisional maupun pasar modern, harga pangan tidak kunjung turun meskipun telah dilakukan beberapa kali intervensi melalui paket sembako harga murah dua pekan terakhir. Dalam perspektif penanganan terhadap masalah sosial, strategi yang diambil pemerintah dengan menjual paket–paket sembako berharga miring dapat digolongkan sebagai tindakan rehabilitative yang karitatif (Soetomo, 2015). Strategi karitatif tidak memiliki sifat mencegah dan tidak memiliki dampak jangka panjang. Strategi ini digunakan untuk mengatasi masalah yang terjadi tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Strategi paket sembako murah tidak memiliki dampak berkelanjutan dan tidak berdampak pada ketahanan pangan keluarga dalam jangka panjang.

Sifatnya yang karitatif membuat strategi ini justru malah menciptakan ketergantungan masyarakat, baik terhadap paket sembako harga murah ataupun terhadap bantuan–bantuan yang diberikan. Kemerdekaan dimulai dari meja makan! Jika sejak era revolusi kita mengenal idiom yang berseru bahwa “kemerdekaan dimulai dari lidah”, maka saat ini, kemerdekaan bukan cuma soal menyampaikan pendapat, tetapi juga soal akses terhadap pangan berkualitas. Kemerdekaan hari ini harus dimulai dari meja makan, di mana pangan berkualitas semestinya dapat diakses oleh seluruh rakyat. Kemerdekaan hari ini mestinya dimulai dari tersedianya pangan yang bergizi di meja makan. Terutama untuk 68 persen populasi rakyat Indonesia yang tidak dapat menjangkau makanan bergizi seimbang sejak tahun 2022 lalu (Kompas, 9/12/22).

Negara bertanggung jawab penuh untuk menciptakan rantai pangan berkualitas dan berkeadilan. Negara harus dapat menjalankan peran mulai dari proses produksi, distribusi sampai pada konsumsi oleh masyarakat. Pada tataran produksi, negara mestinya mendukung maksimal dengan kebijakan berpihak pada petani yang dapat mengurangi biaya produksi mulai dari pengendalian harga pupuk, menyediakan infrastruktur yang diperlukan seperti waduk dan bendungan. Distribusi pangan dipersingkat dengan membuat rantai pasok pangan lokal. Konsumsi pangan dapat dilindungi dengan kebijakan HET yang tegas dan tidak menciptakan kepanikan penjual yang dapat berujung pada kenaikan harga pangan tanpa kendali. Indonesia dapat belajar pada Malaysia dengan tingkat penduduk yang tidak dapat menjangkau makanan bergizi seimbangnya hanya sekitar 1,9 persen atau 0,6 juta jiwa (Kompas, 9/12/22).

Bagaimanapun caranya, akses terhadap pangan dengan harga terjangkau adalah hak seluruh rakyat. Keberpihakan dan kekuatan pemerintahan mestinya dapat ditunjukkan dengan pengendalian terhadap harga bahan pangan terutama beras. Dalam jangka panjang, harapan rakyat bersandar pada normalisasi harga pangan. Pada harga pangan yang dapat diakses oleh seluruh rakyat Indonesia termasuk oleh rakyat dengan upah di bawah standar minimum regional. Rakyat mendambakan kehidupan normal, yang tidak perlu saling dorong saat antre pangan murah atau tahan lapar karena tak sempat antre beras murah. Rakyat tak perlu makan beras bercampur gabah, batu dan kutu. Kesulitan mengakses pangan bukan hanya pada keluarga tanpa pekerjaan tetap, tetapi juga pada keluarga dengan satu orang pekerja tetap di dalamnya. Di mana partai politik yang baru saja menebar janji politiknya saat kampanye? Jelas kenaikan harga pangan yang melambung tinggi luput dari arena debat pilres. Sambil menunggu janji politik elite, menunggu janji ideologis negara untuk merawat rakyatnya, mari kita mulai dari pekarangan. Jangan biarkan sejengkal pun tanah menganggur di rumah kita! Karena kemerdekaan dimulai dari meja makan!

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Berharap Normalisasi Harga Pangan”

Baca selengkapnya disini