Nella Kedan – Dosen STPM
Dewasa ini, kala orang bicara tentang patriarki, maka sentilan kecil akan mengarah kepada feminisme. Feminisme, untuk sekarang, sudah diterima secara semua orang. Namun, pada awalnya masih disikapi agak dingin oleh masyarakat Indonesia karena dianggap sebagai bahan impor yang kurang sesuai dengan kultur di Indonesia (Awuy, 1995:84).
Akan tetapi, dalam perjalanan waktu, feminisme menjadi satu wacana yang kuat dalam memperjuangkan eksistensi perempuan dari level lokal sampai internasional. Di sini, penulis tidak melihat feminisme secara luas, tetapi melihat perempuan sebagai pemilik gerakan tersebut. Jika menengok ke timur Pulau Flores, perempuan Lamaholot di Flores Timur masih berada dalam represi patriarki yang panjang. Sebagai contoh, beberapa fenomena ini tampak dalam fakta yang pernah terjadi pada 2021 silam di mana seorang pemuda asal Desa Riangkemie, Kecamatan Ile Mandiri, Flores Timur, bernama YM (19) menghamili tiga perempuan sekaligus dalam setahun (Kompas, 16/11/2021).
Kasus kekerasan (violence) seperti ini pun masih dianggap sebagai tanda cinta atau dipandang sebelah mata. Di lain sisi, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dianggap wajar bahkan oleh sesama perempuan. Hal ini menggambarkan perempuan Lamaholot masih belum memiliki kontrol penuh terhadap jati dirinya, keputusan hidup, masa depan, dan orientasi personal is politicalnya.
Personal is political sesungguhnya menunjukkan seorang perempuan sebagai pribadi yang membuka suara dan mengambil keputusan yang menyatakan eksistensinya atau sebuah pernyataan politis sebagai seorang individu dalam menentukan masa depannya.
Untuk itu, salah satu cara yang paling kuat untuk keluar dari situasi penindasan terhadap perempuan adalah jika seorang perempuan itu terdidik.
Dalam paradigma berpikir demikian, hemat penulis, pendidikan dalam hal ini bukan hanya pendidikan formal, tetapi semua bentuk pendidikan (formal, nonformal, informal) yang dapat mempersiapkan perempuan sebagai bagian dari citizen (anggota masyarakat), bukan hanya sekadar penumpang kelas dua di negara sendiri.
Fakta lain, saat menerima gelar kehormatan Doctor di University of East London, Preity Zinta me- nyampaikan kata sambutan yang sangat singkat, sebuah pesan yang selalu diulang oleh ayahnya; “An Indian woman, when she is young, she is depending on her father, when she is married she is depending on her husband and when she is old, she is depending on her son, and i don’t want you to be like that, I want you to have independent, i want you to be the master of your destiny and the only way you can do that is if you are educated, than you can stand on your own two feet”.
Kalimat di atas kurang lebih berarti “Seorang perempuan India, saat dia masih muda, dia bergantung pada ayahnya, ketika dia menikah dia bergantung ada suaminya dan ketika dia tua, dia bergantung pada putranya, dan saya tidak ingin kamu menjadi seperti itu, saya ingin kamu menjadi mandiri, saya ingin kamu menjadi tuan atas takdirmu, dan kamu hanya bisa melakukannya jika kamu berpendidikan dengan demikian kamu dapat berdiri di atas kedua kakimu sendiri”.
Demikian halnya bagi perempuan Lamaholot. Kemandirian dapat dicapai jika perempuan Lamaholot terdidik karena pendidikan akan membuka pintu untuk banyak kesempatan. Untuk itu, penulis hendak memberikan beberapa solusi yang barangkali bisa menjadi bekal untuk perempuan Lamaholot dalam melawan segala bentuk subordinasi dan kekerasan.
Pertama, akses pada pengetahuan yang mencerahkan (enlighten). Di sini, pendidikan membantu perempuan keluar dari guanya dan memberikan perempuan kesempatan untuk mempelajari dan mendalami apa pun yang menjadi passionnya dalam bidang kimia, fisika, keorganisasian, ekonomi, pertanian, makanan, penerbangan, dan lainnya.
Kedua, akses terhadap kemandirian finansial. Melalui pendidikan, perempuan Lamaholot dapat ber- saing memasuki dunia kerja demi mendapatkan penghasilan sendiri yang bisa memperluas ruang gerak perempuan Lamaholot dalam mengambil keputusan yang berkaitan erat dengan dirinya.
Ketiga, akses terhadap informasi dan jaringan perlindungan kekerasan terhadap perempuan. Tidak dapat dimungkiri, dunia yang ditempati oleh perempuan Lamaholot sekarang masih memosisikan perempuan pada jalur subordinasi. Untuk itu, pendidikan membuka akses informasi ketidakadilan gender dan jaringan pengaman sosial untuk membangun keterbukaan tentang ketidakadilan.
Dalam kontes ini, perempuan jadi tahu apa yang harus dilakukannya jika mendapatkan perlakukan tidak adil. Perempuan juga mendapatkan teman-teman yang bisa saling menguatkan dan menyemangati, bahkan mendapat- kan akses pada lembaga-lembaga perlindungan perempuan.
Dalam konteks Lamaholot, spiritualitas perempuan Lamaholot menempuh pendidikan tinggi harus mulai dibangun dari dan dalam diri perempuan Lamaholot itu sendiri dan secara struktural oleh para pemangku kebijakan. Ketika pendidikan menjadi milik perempuan, maka dalam situasi paling terpuruk sekalipun, perempuan selalu memiliki kekuatan (agensi), satu kemampuan perempuan baik secara individu maupun kolektif untuk bertindak dan melakukan sesuatu guna mencapai tujuan yang diinginkan (Pratiwi & Boangmanalu, 2019:363-375). Hal inilah yang harus ditanamkan dan dikembangkan dalam diri semua perempuan Lamaholot.
Secara struktural, para pemangku kepentingan dan kebijakan serta sistem-sistem yang ada harus berkomitmen untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pendidikan perempuan Lamaholot. Dukungan dari semua pihak sangat diperlukan untuk meningkatkan pendidikan perempuan Lamaholot itu sendiri.
Untuk itu, pemerintah kabupaten juga perlu memastikan adanya kebijakan yang memperhatikan sensitive gender. Organisasi sosial dan kemasyarakatan di tingkat lokal sebaiknya membangun sistem yang meningkatkan partisipasi penuh perempuan Lamaholot. Di sini, partisipasi yang dimaksud bukanlah partisipasi semu yang tidak memberikan ruang pada perempuan untuk membangun argumentasi dan pengalaman dalam berbagai bidang kehidupan saat ini.