Oleh Eugenia Natalia Meo, Dosen STPM Santa Ursula
Pesta demokrasi yakni pemilu telah dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Indonesia pada 14 Februari 2024 . Momentum yang selalu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, kembali dilaksanakan tahun ini. Pemilu sendiri sudah dilaksanakan sejak tahun 1955 hingga kini. Pemilu atau pemilihan umum adalah sarana bagi rakyat atau warga negara untuk memilih pemimpin atau anggota legislatif untuk mewujudkan tatanan negara yang demokratis. (Kumparan 12/01/2024)
Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Perempuan maupun laki-laki berhak menjadi calon presiden maupun calon legislatif selama memenuhi syarat yang ditentukan. Menarik jika kita membahas tentang calon legislatif perempuan.
Melihat tren dari pemilu sebelumnya, persentase keterwakilan caleg perempuan sebenarnya telah mengalami peningkatan sejak pemilu 2004. Namun, ironisnya, jumlah perempuan yang berhasil menduduki kursi di parlemen belum pernah mencapai ambang batas 30%. (Kumparan 7/12/2023)
Amanat undang-undang Pemilu tentang kewajiban kuota 30% bagi caleg perempuan adalah salah satu capaian penting dalam demokrasi Indonesia pascareformasi. Perjuangan penerapan kebijakan afirmasi sejak pascapemilu 1999 mulai mencapai bentuk utuh pada Pemilu 2014.
Yaitu ketika KPU berani memberikan sanksi administrasi kepada partai politik yang tidak memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dan mengikuti nomor urut selang-seling setiap tiga nama calon yang diusulkan minimal satu di antaranya adalah perempuan. Jika tidak ada maka partai itu tidak boleh mengikuti pemilu di daerah pemilihan tersebut.
Dengan adanya sanksi inilah yang membuat partai politik melakukan segala macam cara guna memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon. Tidak semua partai politik siap dengan kader perempuan, untuk memenuhi kekurangan kader tersebut, partai mencomot perempuan dari mana pun agar bisa dijadikan calon demi tercapainya ketentuan kuota 30%.
Kehadiran perempuan di ranah politik praktis yang dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di parlemen menjadi syarat mutlak bagi terciptanya kultur pengambilan kebijakan publik yang ramah dan sensitif pada kepentingan perempuan. Keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia menjadi sebuah urgensi namun perlu diingat bahwa di samping keurgensian tersebut masih banyak faktor penghambat bagi perempuan untuk duduk di parlemen itu sendiri.
Meskipun sudah ada kebijakan afirmatif, berdasarkan data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menunjukkan angka keterwakilan perempuan hasil Pemilu legislatif nasional 2019 masih sekitar 20.5 persen dari 575 kursi DPR, dibandingkan tahun 2014 tidak ada peningkatan yang signifikan dan artinya belum mencapai kuota 30 persen. Terbatasnya keterwakilan perempuan di parlemen nyatanya bukan hanya karena satu atau dua faktor saja, tetapi dipengaruhi oleh berbagai faktor (31/05/2023).
Lembaga DPRD yang tanpa kehadiran perempuan dialami Kabupaten Nagekeo Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Nagekeo terbagi dalam 3 Dapil (Dapil 1; Kecamatan Aesesa, Kecamatan Wolowae, Kecamatan Aesesa Selatan), (Dapil 2; Kecamatan Nangaroro, Kecamatan Keo Tengah, Kecamatan Mauponggo), (Dapil 3; Kecamatan Boawae).
Sejak berdirinya Kabupaten Nagekeo (Daerah Otonom Baru) pada Mei 2007 dan sudah tiga kali melangsungkan pemilu legislatif yakni pada tahun 2009, 2014, dan juga 2019 hasilnya tetap sama semua kursi legislatif ditempati oleh laki-laki.
Perempuan belum pernah hadir di DPRD Kabupaten Nagekeo meski sejak berdirinya sebagai Daerah Otonomi Baru sudah tiga kali diselenggarakan pemilu legislatif.
Lantas bagaimana dengan hasil pemilu yang telah berlangsung pada 14 februari 2024? Strategi seperti apa yang telah dilakukan oleh caleg perempuan Nagekeo untuk bisa memperoleh kursi di legislatif Nagekeo?
Veronika Aja, S.E.,M.M salah satu calon anggota legislatif Kabupaten Nagekeo Dapil 1 yang meliputi (Kecamatan Aesesa, Wolowae, Aesesa Selatan) yang maju dalam kontestasi pemilu kali ini, belajar dari kegagalan 5 tahun lalu ia bertekad untuk bisa memenangkan pemilu, sebagai perwujudan demokrasi yang mewakili perempuan di kursi legislatif Nagekeo.
Bicara keterwakilan siapa pun boleh berpartisipasi untuk menjadi anggota legislatif selama ia memenuhi syarat yang diperlukan. Pemerintah menetapkan kuota 30% untuk keterwakilan perempuan.
Kita membutuhkan perempuan berkualitas yang mempunyai potensi agar bisa menjadi keterwakilan yang utuh bagi semua kaum perempuan dari semua aspek. Veronika dalam masa kampanye menerapkan strategi pendekatan secara keluarga dan pendekatan kepada sahabat-sahabatnya dan dalam pertemuan selalu berbicara tentang keberpihakan perempuan.
Sambil menunggu hasil pemilu yang belum secara resmi diumumkan, masyarakat berharap agar dalam pemilu kali ini bisa melahirkan kader perempuan di legislatif Nagekeo sebagai sebuah komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang mewakili seluruh lapisan masyarakat.
Artikel ini telah tayang di Kumparan.com dengan judul “Menyoal Minimnya Keterwakilan Perempuan di Parlemen”
Baca selengkapnya disini