Official Website STPM Santa Ursula

Menelanjangi Etika Kehadiran Romo Magnis Di Mahkamah Konstitusi

Oleh RD. Emanuel Natalis, Dosen STPM Santa Ursula

Romo Franz Magnis Suseno, SJ, akrab disapa Romo Magnis, adalah seorang pastor katolik. Beliau dikenal sebagai pakar etika. Sebagaimana buku-buku yang ditulisnya; Etika Jawa (1984), Kuasa dan Moral (1986), Etika Dasar (1986), Etika Politik (2006). Menjadi menarik bahwa Romo Magnis hadir di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa, 2 April 2024. Beliau dihadirkan oleh Pemohon, Paslon 02- Ganja Pranowo dan Mahfud MD sebagai Ahli dalam sidang sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) di MK. Tentu saja kehadiran Romo Magnis memicu polemik sekaligus kontroversi. Seorang pastor katolik (dianggap) terlibat politik praktis, demi membela pihak yang kalah dalam Pilpres 2024. Termasuk pula segala tuduhan bahwa dalam persidangan tersebut, Romo Magnis dikatakan telah bersuara bahwa Presiden Jokowi adalah seorang pencuri ataupun mafia.

Dalam situasi demikian, benarkah kehadiran Romo Magnis di MK, serta tindakan dan perkataan yang beliau sampaikan, telah sesuai dengan tuntutan etis sebagai manusia ? Hal mana, tuntutan etis itu sendiri sudah Romo Magnis ungkapkan, dengan menyatakan : “Etika adalah ajaran tentang yang baik dan tidak baik sebagai kualitas manusia sebagai manusia. Etika membedakan manusia dari binatang. Binatang hanya mengikuti naluriah alamiah, tetapi manusia sadar bahwa nalurinya hanya boleh diikuti apabila baik, dan bukan tidak baik.”

MAHKAMAH KONSTITUSI : BADAN YUDIKATIF, BUKAN LEMBAGA ETIKA

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, disingkat MK, merupakan lembaga tinggi negara hasil amandemen UUD 1945. Bersama Mahkamah Agung (MA), MK merupakan pemegang kekuasaan kehakiman. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 23/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Disitu, MK berdiri dengan tanggal 13 Agustus 2003, disepakati sebagai hari lahir Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan baik oleh Mahkamah Agung (MA) dan badan-badan peradilan di bawahnya, yakni lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara; serta oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Jadi MK merupakan pelaku kekuasaan yudikatif di Republik Indonesia, bersama MA. MK merupakan cabang kekuasaan yudikatif yang berwenang mengadili perkara-perkara sebagaimana yang ditentukan oleh UUD 1945 dan perundang-undangan yang ada. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, dan Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 23/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyebutkan secara limitatif batas kewenangan MK tersebut. MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, atau yang biasa disebut (Judicial review); untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya ditentukan oleh UUD 1945; untuk memutus pembubaran partai politik; dan untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewenangan MK tersebut boleh dikatakan cukup terbatas, dengan salah satunya adalah terkait perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Perselisihan hasil pemilihan umum dimaksud dapat berupa perselisihan hasil pemilihan presiden (Pilpres); perselisihan hasil pemilihan legislatif (Pileg), entah itu legislatif pusat, propinsi atau kabupaten/kota; serta perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada), baik itu propinsi ataupun kabupaten/kota. Baca Juga : Polri bersama KPU, Bawaslu, KPI, PWI dan Dewan Pers Gelar Rakor Persiapan Pengamanan Pemilu 2024 Norma dan fakta hukum di atas jelas menegaskan bahwa MK merupakan lembaga yudikatif, sekaligus menegasikan MK sebagai lembaga etis. MK adalah lembaga hukum, dan bukannya etika. Meskipun demikian, di dalam MK, terdapat Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, disingkat MKMK. MKMK bertugas menindaklanjuti laporan-laporan terkait dugaan pelanggaran kode etik dari para hakim MK yang berjumlah 9 (sembilan) orang. Mengingat hanya di MK, terdapat syarat bahwa calon hakim MK harus memiliki sifat kenegarawanan. Disini, MKMK dibentuk untuk menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran dan martabat serta untuk menjaga kode etik dan peri laku hakim MK. Hal mana terbukti degan vonis MKMK terhadap Anwar Usman, salah satu hakim MK. MKMK yang diketuai oleh Prof, Jimmly Asshididiqie, menyatakan Anawar usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan peri laku hakim konstitusi, dalam mengadili perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Atau yang dikenal dengan istilah “Kasus Paman Usman di MK”. Namun demikian, vonis etis oleh MKMK di atas tidak serta merta membuat MK menjadi peradilan etika. Di satu sisi, vonis etis tersebut hanya berlaku bagi hakim MK (yang berkasus dan terbukti bersalah), dan tidak berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia.

Di sisi lain, vonis etis tersebut tidak dapat membatalkan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang meloloskan Gibran Raka Bumi sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam kontestasi Pilpres 2024. MK tetaplah merupakan badan peradilan dan pelaku yudikatif yang berwenang menguji sengketa hukum sebagaimana amanat UUD 1945. ROMO MAGNIS : AHLI DI MAHKAMAH KONSTITUSI Romo Magnis adalah Ahli dalam sidang MK. Keterangan Ahli merupakan salah satu alat Bukti. Dalam Peradilan Perdata, dicari “Kebenaran Formil”, artinya dibutuhkan Bukti SURAT untuk memperkuat dalil Penggugat kepada Tergugat. Alat Bukti lainnya; Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Pengakuan dan Sumpah, hanya relevan sejauh memperkuat Bukti Surat. Disini, hakim bersifat Pasif. Dalam Peradilan Pidana, dicari “Kebenaran Materiil”, artinya dibutuhkan keterangan SAKSI, untuk membuat terang dan jelas tidak pidana yg didakwakan oleh Jaksa Penuntut (JPU) kepada Terdakwa. Alat Bukti lainnya : Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa, hanya relevan sejauh memperkuat Keterangan Saksi. Disini hakim bersifat Aktif. Selanjutnya, dalam Peradilan MK, dicari “Kebenaran substantif-Konstitusional”, artinya hakim sendiri mempertimbangkan dalil-dalil Permohonan dari Pemohon (bukan Penggugat) disertai dengan bukti-bukti yang memperkuat dalil tersebut, untuk melihat Permohonan Pemohon tersebut dapat diterima atau tidak. Jadi hakim bisa aktif atau pasif, sejauh dalil-dalil yang diajukam Pemohon dapat membuktikan kerugian Konstitusi yg timbul akibat adanya peraturan perundang-undangan yg bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam sengketa Pilpres ini, sejauh yg saya tangkap, hakim sangat aktif untuk melakukan pengujian terhadap dalil-dalil Para Pemohon dengan bukti-bukti yg ada, mengingat adanya Kasus Etika baik yg menimpa hakim MK sendiri, dan Komisioner KPU, sehingga Pilpres 2024 lalu dianggap jauh dari Jurdil (jujur dan adil). Baca Juga : Badan Ad Hoc Pemilu 2024 di Nagawutung Gelar Rapat Evaluasi di Lokasi Wisata Air Terjun Lodovavo Kehadiran Romo Magnis di MK, dapat dibandingkan dengan kehadiran Kyai Ma’ruf Amin, dalam kasus pidana yang menimpa Ahok, Tahun 2017 silam. Dalam persidangan tersebut, Kyai Ma’ruf Amin hadir sebagai Ahli dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), guna membuktikan bahwa Ahok bersalah melakukan penistaan agama, sebagaimana surat dakwaan Penuntut Umum. Pada titik ini, terlihat bahwa baik Romo Magnis, maupun Kyai Ma’ruf Amin, adalah tokoh agama, namun kehadiran mereka berdua adalah sebagai Ahli, dan bukannya sebagai tokoh agama, untuk membuat terang dan jelas (clara et distincta) perkara yang sedang diadili. Karena kehadiran sebagai Ahli ini, maka yang akan diuji dan digali adalah kompetensi keahlian mereka, atau bahkan standar moral hidup mereka sendiri. Dalam sidang MK yang berlangsung, seluruh Keterangan Ahli dari Romo Magnis akan menjadi tepat, sepanjang beliau tidak menyebut nama daripada Presiden Jokowi.

Adalah kesalahan apabila Romo Magnis mengatakan bahwa Presiden Jokowi adalah pencuri atau Presiden Jokowi adalah Mafia. Romo Magnis berhenti di titik : “Presiden adalah Mafia atau Presiden seperti Pencuri,” tanpa menyebut nama Jokowi. Jika beliau melewati batas dengan menyebut nama Presiden Jokowi, maka Romo Magnis tidak lagi hadir dalam persidangan di MK sebagai AHLI, tetapi telah menjadi SAKSI. Disini ada perbedaan antara AHLI dan SAKSI. Ahli adalah orang karena keahliannya atau ketrampilan dan ilmunya, untuk memberikan Keterangan dalam persidangan. Sedangkam saksi adalah orang yang mengalami, melihat dan menyaksikan sendiri peristiwa, untuk disampaikan di dalam persidangan. Sebagai ahli, Romo Magnis memang tidak boleh menyebut nama, bahkan sekalipun beliau tahu dan meyakini semua tuduhan yang didalilkan oleh Paslon 01 dan Paslon 03, bahwa Presiden Jokowi telah “cawe-cawe” dalam Pilpres 2024 untuk kemenangan anaknya Gibran Raka Bumi. Artinya, jika diambil keterangan sebagai Ahli, janganlah memberi keterangan sebagai Saksi.

Apabila hal itu terjadi, maka seluruh Keterangan sebagai Ahli menjadi tidak relevan, dan tidak dapat dipertimbangkan oleh majelis hakim MK. Dalam konteks ini, kepakaran soal etika dari Romo Magnis dapat dipahami mengingat adanya Kasus Etika yang menjerat Anwar Usman di MK, dan juga Kasus Etika yang menjerat Ketua KPU Hasyim Asyari. Keterangan Ahli yang disampaikan oleh Romo Magnis akan berakumulasi dengan alat-alat bukti lainnya, selama proses pembuktian berlangsung. Alat bukti lainnya itu berupa surat atau tulisan; keterangan saksi; keterangan para pihak; petunjuk; dan alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengannya. Rangkaian proses pembuktian dengan alat-alat bukti ini bertujuan untuk meyakinkan hakim. Mengingat asas siapa yang mendalilkan, wajib membuktikan dalilnya tersebut. Di dalamnya, hakim akan mendengarkan kedua belah pihak, baik Pemohon maupun Termohon, termasuk Pihak Terkait, sesuai asas audi et alteram partem.

Dalam sengketa Pilpres 2024 ini, Para Pemohon adalah Pihak 01 (Anies-Muhaimin) & Pihak O3 (Ganjar-Mahmud), dengan Termohon, yakni KPU(Komisi Pemilihan Umum), sedangkan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) menjadi Pemberi Keterangan. Selanjutnya, terdapat pula Pihak Terkait, yakni Paslon 02 (Prabowo-Gibran). Maruarar Siahaan (Hukum Acara Mahkamah Konstitusi; 2012) menyatakan bahwa hakim di persidangan MK bersifat Pasif dan tidak boleh secara aktif melakukan inisiatif untuk menggerakan mekanisme MK memeriksa perkara tanpa diajukan dengan satu permohonan. Maka sekali permohonan didaftarkan dan mulai diperiksa, disebabkan adanya kepentingan umum yang termuat di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung akan memaksa hakim untuk bersikap aktif dalam proses dan tidak menggantungkan proses hanya pada inisiatif para pihak, baik dalam rangka menggali keterangan maupun bukti-bukti yang dianggap perlu untuk membuat jelas dan terang hal yang diajukan dalam permohonan tersebut.

Tidak heran jika bahkan keempat Menteri dalam pemerintahan Jokowi dipanggil oleh majelis hakim MK untuk memberikan keterangan dalam persidangan tersebut. Sesudah melewati tahap pembuktian, para hakim Mk yang berjumlah 8 (delapan) orang, minus Anwar Usman, akan melalukan musyawarah untuk memutus sengketa Pilpres 2024 tersebut. Terdapat 3 (tiga) jenis putusan di MK. Pertama, Putusan Menolak Permohonan, dimana Hakim MK memutus untuk menolak seluruh Permohonan Para Pemohon, baik dari Pihak Paslon 01 (Anies-Muhaimin) & Pihak Paslon O3 (Ganjar-Mahmud). Kedua, Putusan Menerima sebagian Permohonan Para Pemohon. Artinya Hakim MK menerima sebagian Permohonan Para Pemohon, yakni sebagian Tuntutan Pemohon 01 atau 03 yg diterima. Ketiga, Putusan Menerima Seluruh Permohonan Para Pemohon. Disini, Hakim MK menerima seluruh Tuntutan Para Pemohon seluruhnya. Sebenarnya ada juga putusan keempat, yakni Hakim Mengatakan Tuntutan Para Pemohon Tidak Dapat Diterima alias Putusan NO. Apapun putusan yang dijatuhkan oleh MK, dengan sendirinya menegaskan hakekat MK sebagai The guardian of Constitution alias Mahkamah Penjaga Konstitusi, yang mampu memberikan keadilan di tengah carut marutnya Pilpres 2024 ini.

PENUTUP

Etika selalu berkelindan dengan hukum. Pada segala zaman, tuntutan-tuntutan etis kemudian diregulasikan menjadi norma hukum. Hampir semua norma hukum positif (Ius Constitutum) berasal dari apa yang baik sebagai tuntutan etis untuk dijalankan, dan apa yang buruk sebagai larangan yang harus dijauhi. Termasuk pula hukum ideal ke depannya (Ius Constituendum) selalu mendasari dirinya kepada apa yang baik dan tidak baik, agar manusia hidup sebagai manusia yang baik. Karena itu, kehadiran Romo Magnis di persidangan MK merupakan jawaban atas panggilan etisnya untuk bertindak dan berkata dengan baik sebagai manusia karena itu harus dilakukan. Dalam persidangan MK tersebut, suara etis Romo Magnis kembali mengamplifikasi pernyataan Lord Acton : “Power tends to corrupt, butabsolute power corrupts absolutely”.

Artikel ini telah tayang di JD-NTT.Com dengan judul “Menelanjangi Etika Kehadiran Romo Magnis Di Mahkamah Konstitusi”

Baca selengkapnya disini